24 maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar
200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda
mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di selatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu “Halo Halo Bandung” ditulis untuk
melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta,
yang sekarang telah menjadi lautan api.
Setelah ProklamasiKemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum
sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit
melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah
Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang.
Mereka berkomplot dengan Belanda dan memperalat Jepang untuk menjajah
kembali Indonesia. Jejak Perjuangan “Bandung Lautan Api” membawa kita
menelusuri kembali berbagai kejadian di Bandung yang berpuncak pada
suatu malam mencekam, saat penduduk melarikan diri, mengungsi, di tengah
kobaran api dan tembakan musuh.
Sebuah kisah tentang harapan, keberanian dan kasih sayang. Sebuah
cerita dari para pejuang kita. Berita pembacaan teks Proklamasi
Kemerdekaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI
pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945,
cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh
Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank
Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga
warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia.
Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang
pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh
Moeljono.Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR),
disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal
12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian
pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November
1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar
meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan
penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk
me¬nyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.Berbagai tekanan dan
serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda.
Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom
daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris
menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban
makin banyak berjatuhan. Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI)
meninggalkan kota dan rakyat, melahirkan politik “bumihangus”.
Rakyat tidak rela Kota Bandung dimanfaatkan oleh musuh. Mereka
mengungsi kearah selatan bersama para pejuang. Keputusan untuk
membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Majelis Persatuan
Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada
tanggal 24 Maret 1946.Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan
Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan
untuk meninggalkan Kota Bandung.
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang
meninggalkan kota. Malam itu pembakaran kota berlangsung besar-besaran.
Api menyala dari masing-masing rumah penduduk yang membakar tempat
tinggal dan harta bendanya, kemudian makin lama menjadi gelombang api
yang besar. Setelah tengah malam kota telah kosong dan hanya
meninggalkan puing-puing rumah yang masih menyala. Pembumihangusan
Bandung tersebut merupakan tindakan yang
tepat, karena kekuatan TRI tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang
berkekuatan besar. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya
dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu “Halo-Halo Bandung”
yang bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia. Selengkapnya
mengenai Peristiwa Bandung Lautan Api, anda bisa membaca buku; “Saya
Pilih Mengungsi”, buku ini dapat anda dapatkan di sekretariat Bandung
Heritage.
——————————————————————–
–SEJARAH BANDUNG LAUTAN API—
SUATU hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar
200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda
mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa
tahun kemudian, lagu “Halo-Halo Bandung” ditulis untuk melambangkan
emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah
menjadi lautan api.
Insiden Perobekan Bendera
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum
sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit
melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah
Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang.
Mereka berkomplot dengan Belanda (tentara NICA) dan memperalat Jepang
untuk menjajah kembali Indonesia.
Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dari Jakarta diterima di
Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus
1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar.
Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS,
Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan
warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih
menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan
oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu
oleh Moeljono.
Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR),
disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal
12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian
pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November
1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar
meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan
penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk
menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan
Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris
membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak
Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas.
Korban makin banyak berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan
rakyat, melahirkan politik “bumihangus”. Rakyat tidak rela Kota Bandung
dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para
pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua
kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku Komandan Divisi III, mengumumkan
hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan rakyat untuk meninggalkan
Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir
panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu
tidak dapat menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul
membubung tinggi di udara. Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang
sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru
terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat
pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang
mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan.
Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat
tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu
pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada
mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka
pada jam 21.00 itu juga ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih
pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi
api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah menjadi
lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat,
karena kekuatan TRI dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh
yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI bersama rakyat melakukan
perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini melahirkan
lagu “Halo-Halo Bandung” yang bersemangat membakar daya juang rakyat
Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah
peristiwa pembakaran itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah
ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H Nasution teringat saat
melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah
kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk
memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung
setelah menerima ultimatum Inggris.
“Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu.
Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu,
berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana,
Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin
Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi
sebenarnya lautan air” (A.H Nasution, 1 Mei 1997)
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka
tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje
Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung
Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman
melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera
menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun
karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita
diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.