Empat tahun merantau di Pekanbaru dan Malaysia tanpa hasil, Widodo
(30) akhirnya memilih pulang ke desanya di Garongan, Kecamatan Panjatan,
Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Widodo menjadi
petani, pekerjaan yang tengah menjadi tren di desanya. ”Merantau hanya
tambah umur. Tak ada hasil,” kata Widodo, tamatan sekolah teknik
menengah di Kulon Progo ini.
aat pulang kampung Widodo sempat mendapat tawaran bekerja di proyek
pembangunan jalan di Banguntapan, Bantul. Upah yang ditawarkan satu
bulan mencapai Rp 800.000 ditambah uang makan Rp 25.000 per hari. Namun,
pekerjaan itu pun ditolaknya.
”Lebih untung menjadi petani di lahan pasir,” kata Widodo dengan bangga.
Dengan lahan garapan seluas 500 meter yang ditanami cabai, Widodo
bisa memperoleh hasil 1-1,5 kuintal cabai sekali petik. Padahal, satu
musim tanam selama lima bulan bisa 15-20 kali petik. Jika harga cabai Rp
7.000 per kilogram (kg), selama satu musim tanam Widodo bisa memperoleh
sedikitnya Rp 10,5 juta.
Di sela-sela cabai Widodo biasa menanam sawi yang hasilnya Rp 2
juta-Rp 2,5 juta, cukup untuk membiayai ongkos produksi cabai dan sawi
sekaligus.
Sutik Haryanto (26), sebelumnya juga merantau selama dua tahun di
Riau, sebelum kemudian pulang ke Garongan menjadi petani lahan pasir.
Lahan garapannya seluas 1.000 meter, cukup untuk membiayai istri dan
satu anaknya.
”Lebih enak begini. Di kampung sendiri, dekat sama anak-istri. Hasil
dari bertani juga cukup, bahkan lebih besar dibandingkan saat menjadi
satpam di Riau,” kata Sutik, tamatan sekolah menengah atas (SMA) ini.
Tak hanya Widodo dan Sutik, ribuan pemuda sepanjang pesisir Kulon
Progo yang semula merantau kini memilih pulang menjadi petani. Lahan
pasir telah menyedot minat pemuda desa untuk kembali ke kehidupan
petani.
”Dari 15-an ribu petani lahan pasir di Kulonprogo, 70 persennya
pemuda,” kata Sukarman, Sekretaris Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP)
Kulon Progo.
Rasional dan gigih
Selain di Kulonprogo, petani-petani muda juga muncul di Kabupaten
Sleman. Di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, gerakan petani
muda membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan) yang terdiri dari 30
kelompok tani (KT). Dan setiap KT ini beranggotakan 10-30 petani.
”Sebanyak 80 persen anggota gapoktan adalah pemuda, usia antara 20
hingga 40 tahun. Rata-rata tamatan SMA. Bahkan ada yang lulus sarjana,”
kata Bambang Sugeng, Ketua II Gapoktan Pakembinangun.
Wasiatno (30), Sekretaris KT Rukun Dusun Padasan yang tergabung dalam
Gapoktan Pakembinangun, mengatakan, menjadi petani bukanlah pilihan
keterpaksaan. Tetapi, memang melihat, pertanian masih menguntungkan jika
dikerjakan dengan baik dan rasional. ”Prinsipnya, jadi petani harus
mandiri dan kreatif,” kata tamatan SMA ini.
Kemandirian yang dimaksud Wasiatno meliputi penyediaan bibit, pupuk,
obat-obatan, hingga pemasaran. Mereka tidak perlu membeli bibit padi
karena memilih menanam padi varietas lokal, seperti rojolele, beras
merah, menur, dan menthik.
Untuk pupuk, mereka menggunakan pupuk kandang dan kompos yang bisa
dibuat sendiri dari sampah organik yang berlimpah di desa. ”Kami masih
terus belajar untuk mengendalikan hama secara organik, tanpa pestisida,”
kata Wasiatno.
Berbeda dengan orang tua mereka yang kebanyakan fanatik menanam padi,
para petani muda ini juga sering kali bereksperimen menanam berbagai
komoditas pertanian. ”Kami juga menanam cabai, salak, semangka, selada,
sawi, dan tanaman-tanaman lain yang menguntungkan,” kata Gunawan (36),
anggota KT Rukun, yang sarjana pendidikan ini.
Di Dusun Ngepas Lor, Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten
Sleman, juga terbentuk Kelompok Tani Akur Muda yang beranggota 34 petani
berusia rata-rata di bawah 30 tahun. Pemuda tani di dusun ini menanam
cabai, kacang panjang, tomat, dan bawang merah.
Tak jarang mereka mencoba-coba tanaman baru dengan hanya membaca buku
dan mempraktikannya di sawah. Kelompok Tani Prasetya Muda Dusun Sempon,
Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, lebih ekstrem lagi karena semua
anggota kelompoknya sepakat tidak menanam padi.
Ratusan anak muda Sleman itu memilih profesi petani sebagai jalan
hidup, bukan karena pelarian. Bukti keseriusan mereka adalah keberanian
menyewa lahan. Tidak semua petani muda ini memiliki sawah warisan
orangtua. Banyak orangtua mereka yang hanya petani penggarap.
Petani-petani muda ini pun ”nekat” menyewa lahan untuk ditanami aneka
komoditas pertanian. Misalnya Wasiatno, dia menyewa lahan seluas 2.000
meter persegi dengan nilai Rp 1,5 per tahun. ”Setelah ditekuni ternyata
hasilnya lumayan,” jelas dia, yang dari bertani sudah bisa membeli
sepeda motor dan lahan seluas 1.000 meter.
Di Kulon Progo petani-petani muda terbukti gigih karena sanggup
mengolah pasir yang panas dan kering menjadi lahan pertanian yang subur.
Mereka harus menyiram tanamannya minimal sehari sekali. Pemuda tani di
Kulon Progo juga membentuk koperasi untuk memasarkan sendiri hasil
pertanian mereka ke daerah lain.
Mereka mengombinasikan pertanian dengan peternakan sapi. Kotoran sapi
menjadi pupuk organik bagi tanaman mereka, mengurangi ketergantungan
pada pupuk kimia. ”Selain memiliki sepeda motor, petani di sini
rata-rata punya sapi sendiri,” kata Widodo.
Ketakutan bahwa generasi muda akan meninggalkan sektor pertanian
rupanya tak selalu benar. Setidaknya itu yang ditunjukkan petani muda di
pesisir selatan Kulon Progo dan pemuda di Sleman, yang menunjukkan cara
baru dalam bertani.
Namun, yang meresahkan justru sikap pemerintah yang hendak memangkas
tunas-tunas muda itu. Di Kulon Progo, Pemerintah Kabupaten dan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta ngotot hendak menggusur pemuda-pemuda tani
lahan pasir itu untuk digantikan perusahaan tambang pasir besi dari
Australia.
”Aneh, bukannya membantu menyejahterakan rakyat, tetapi penguasa
sekarang justru mengganggu usaha rakyatnya sendiri,” keluh Widodo….